Sejarah Singkat Imam An-Nawawi
Disusun Oleh: Ustadz Anas Burhanuddin, Lc.
Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin
Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada
bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus)
yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau yang
terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib
(tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum
menginjak usia baligh.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh
Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman
sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut.
Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar
dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada
umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar.
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga
berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilminya
ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang diadakan oleh para
ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah didekat Al-Jami’
Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan
bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan
menghafal banyak hal. Iapun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata :
“Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya,baik penjelasan kalimat yang
sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan
barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Diantara syaikh beliau: Abul Baqa’
An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-Muradiy, Abul Faraj
Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah. Dan
diantara murid beliau: Ibnul ‘Aththar Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj Al-Mizziy,
Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy,Abul ‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.
Pada tahun 651 H ia menunaikan
ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah dan menetap disana
selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq. Pada tahun 665 H ia
mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak untuk mengambil
gaji.
Beliau digelari Muhyiddin (
yang menghidupkan agama ) dan membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau.
Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan
orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang
meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata :”Aku tidak
akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin”.
Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud,
wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan
banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau
menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para
penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi
nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali. Suatu ketika beliau
dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa.
Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun
meremehkannya dan berkata: ”Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan
menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Raja marah dan berkata: ”Kenapa !?”
Beliau menjawab: ”Karena berisi kedhaliman yang nyata”. Raja semakin marah dan
berkata: ”Pecat ia dari semua jabatannya”. Para pembantu raja berkata: ”Ia
tidak punya jabatan sama sekali. Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya.
Raja ditanya: ”Kenapa tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian
kepada Tuan?” Rajapun menjawab: ”Demi Allah, aku sangat segan padanya”.
Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali
karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya:
- Dalam
bidang hadits : Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al- Minhaj (Syarah Shahih
Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
- Dalam
bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.
- Dalam
bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
- Dalam
bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin,
Al-Adzkar.
Kitab-kitab ini dikenal secara luas
termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat.
Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan
kesungguhan beliau dalam berjuang.
Secara umum beliau termasuk salafi
dan berpegang teguh pada manhaj ahlul hadits, tidak terjerumus dalam filsafat
dan berusaha meneladani generasi awal umat dan menulis bantahan untuk ahlul
bid’ah yang menyelisihi mereka. Namun beliau tidak ma’shum (terlepas dari
kesalahan) dan jatuh dalam kesalahan yang banyak terjadi pada uluma-ulama di
zaman beliau yaitu kesalahan dalam masalah sifat-sifat Allah Subhanah. Beliau kadang
menta’wil dan kadang–kadang tafwidh. Orang yang memperhatikan kitab-kitab
beliau akan mendapatkan bahwa beliau bukanlah muhaqqiq dalam bab ini, tidak
seperti dalam cabang ilmu yang lain. Dalam bab ini beliau banyak mendasarkan
pendapat beliau pada nukilan–nukilan dari para ulama tanpa mengomentarinya.
Adapun memvonis Imam Nawawi sebagai Asy’ari, itu tidak
benar karena beliau banyak menyelisihi mereka (orang-orang Asy’ari) dalam
masalah-masalah aqidah yang lain seperti ziyadatul iman dan khalqu af’alil
‘ibad. Karya-karya beliau tetap dianjurkan untuk dibaca dan dipelajari, dengan
berhati-hati terhadap kesalahan-kesalahan yang ada. Tidak boleh bersikap
seperti kaum Haddadiyyun yang membakar kitab-kitab karya beliau karena adanya
beberapa kesalahan didalamnya.
Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan
Fatwa kerajaan Saudi ditanya tentang aqidah beliau dan menjawab: ”Lahu
aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab
sifat-sifat Allah).
Imam Nawawi meninggal pada 24 Rajab 676 H -rahimahullah
wa ghafarahu-.
Catatan: Lihat biografi beliau di Tadzkiratul Huffazh 147,
Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra, Syadzaratudz Dzahab 5/354.
0 komentar:
Posting Komentar